Promises
Mother's Day Fiction
Karya Naomi Natalie (Regina Natalina Naomi)
19 Desember 2013, 07.00
"MAMA, aku mau tidur uuh!"
Debora menghela napas. Anaknya itu memang sulit sekali dibangunkan. Tidak heran, karena dia selalu tidur larut malam.
"Chika..."
"Ah, mama!" Chika menyerah. Debora tersenyum. Akhirnya.
***
PUNYA anak di usia muda memang bukan cita-cita Debora. Wanita berusia 23 tahun itu lebih memilih menelan racun dibanding melahirkan di usia muda. Tapi pilihan itu tidak ada.
Oh, ayolah, jangan kekanakan. Debora tahu itu. Karena pilihan-pilihan hidupnya dilenyapkan karena dirinya sendiri.
Kukira kau bisa menebak kan ya? Hamil di luar nikah. Tepat. Sungguh, itu hal yang memalukan. Debora sendiri tahu. Dan untunglah, pria yang menghamilinya mau bertanggung jawab.
Pacarnya sendiri.
Tapi kemudian, pacar yang telah menjadi suaminya itu meninggal setelah pernikahannya dengan Debora. Jadilah Debora sekarang single parents.
Tapi Debora tetap mempertahankan merawat anaknya: Chika. Karena ia tak ingin anaknya mengalami hal yang sama sepertinya. Yaitu... Terbuang.
***
20 Desember 2013, 11.00
"MAMA!"
Gadis berusia 5 tahun itu berlari ke rumahnya. Cepat. Tergesa.
"Mama!" panggil gadis kecil itu lagi. Ibunya keluar pelan.
"Ada apa, Chika?" tanya Debora.
"Mama! Kenapa yang lain punya ayah dan aku ngga?"
"Kamu punya sayang. Tapi ayahmu sudah meninggal, Chika."
"Apa tidak punya ayah itu salah?"
DEG
"Tentu saja tidak, sayang. Itu t-tidak salah," Debora memaksakan tersenyum, padahal hatinya sudah sangat perih mengingat masa lalunya.
Tidak punya ayah... Hal yang menyebabkan...
Mata Debora memejam.
"Mama!" panggil gadis kecil itu lagi. Ibunya keluar pelan.
"Ada apa, Chika?" tanya Debora.
"Mama! Kenapa yang lain punya ayah dan aku ngga?"
"Kamu punya sayang. Tapi ayahmu sudah meninggal, Chika."
"Apa tidak punya ayah itu salah?"
DEG
"Tentu saja tidak, sayang. Itu t-tidak salah," Debora memaksakan tersenyum, padahal hatinya sudah sangat perih mengingat masa lalunya.
Tidak punya ayah... Hal yang menyebabkan...
Mata Debora memejam.
***
7 September 1990, 16.50
SEBUAH keranjang tergeletak di depan pintu rumah. Pintu itu terbuka. Pemilik rumah itu terkejut melihat isi keranjang itu.
Seorang ibu yang melihatnya meneteskan air mata lemah ketika sang pemilik rumah membawa bayi itu masuk.
***
8 September 2000, 15.07
"Sini nak," seorang wanita menepuk sofa di sebelahnya. Seorang anak berusia 10 tahun mengikuti.
"Ada apa, ma?"
"Mama rasa kamu sudah cukup dewasa untuk menerima kenyataan, Debora. Kamu boleh membaca ini." Wanita itu memberikan selembar kertas yang ternyata... Selembar surat.
Debora sayang,
Bunda minta maaf telah meninggalkanmu begitu saja. Bukan maksud bunda sayang. Namun semua begitu mendesak bunda... Bunda harus meninggalkanmu.
Baik-baik ya dengan ibumu. Bunda sungguh minta maaf. Bunda terpaksa, Debora.
Maaf... Terimalah kenyataan. Kenyataan ini harus kamu cari tahu. Bunda takkan pernah dengan tega memberitahumu sayang.
Ingatlah pesan bunda... Jika suatu saat kamu punya anak, jagalah dia sebaik mungkin. Berjanjilah. Jangan seperti bunda ya?
Bunda sayang Debora.
"Ma... Ini...?"
"Kamu bukan anak kandung mama, Debora..."
"Mah?" Suara gadis 10 tahun itu sudah terdengar menahan tangis.
"Maafkan mamah..." Wanita itu memeluk si gadis yang tangisnya langsung pecah.
***
21 November 2004, 16.25
"Waktu itu dia memang melahirkan di sini. Seingat saya waktu itu dia minta izin mau ke tempat temannya yang membayar biaya persalinan itu. Padahal dia belum pulih."
"Dimana tempatnya?" tanya gadis 14 tahun itu pelan.
"Ini." Bidan itu mengangsurkan selembar kartu nama kusam. Dua gadis itu menerimanya dan kembali berjalan sampai ke tempat yang tertera di kartu itu.
TOK TOK TOK
Seorang wanita keluar. "Maaf, cari siapa?"
"Apa Nyonya Ananda ada?"
"Saya sendiri, ada apa ya?"
"Kami ingin menanyakan tentang Nyonya Gabriella," ucap teman gadis tadi pelan. Gadis itu menunduk.
"Apa kamu Debora?" tanya nyonya itu menebak.Gadis itu mendongak kaget.
"Iya, ini Debora. Saya temannya, Valen," kata temannya.
"Ayo, silahkan masuk." ucap Nyonya itu, bahkan tak bisa menyembunyikan nada terkejut dan tergopoh-gopohnya.
"Silahkan diminum," Seorang pembantu rumah tangga sang nyonya rumah menyuguhkan tiga cangkir teh.
"Kalian ingin bertanya tentang Gabriella? Atau alasan meninggalkanmu, Debora?" tanya Nyonya Ananda ramah.
Debora menoleh. "Keduanya, Nyonya."
"Jadi begini... Maaf ya, Debora. Waktu itu, ibumu sangat terdesak." Sang nyonya rumah menghela napasnya."Ini dimulai saat itu... Dia dijodohkan. Ibumu dan ayahmu dijodohkan dan menikah. Tapi ayahmu masih mencintai kekasihnya, dan berselingkuh dengan kekasihnya itu."
Debora dan temannya mendengarkan dengan saksama.
"Waktu itu kekasih ayahmu diketahui hamil... Sehingga ayahmu menceraikan ibumu dan lebih memilih kekasihnya. Sebetulnya kakek nenekmu marah besar karna ayahmu menghilang begitu saja. Akhirnya hubungan kedua keluarga merenggang."
Tubuh Debora mulai menegang.
"Dan tak disangka ibumu hamil... Hamil anak ayahmu, kamu. Baru ia sadari setelah 2 bulan bercerai, usia kandungannya persis dua bulan."
"Kenapa ia tak menyadari? Selama dua bulan itu ia tak menyadari?" potong Debora.
"Karna ibumu sakit hati dan memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan. Dia bahkan mungkin takkan sadar kalau tidak masuk rumah sakit karna kelelahan."
Suasana hening sejenak.
"Nah, saat itu, kakekmu dari pihak ibu marah besar. Dia pikir ibumu juga berselingkuh. Maka ia mengusir ibumu dari rumah. Ibumu sungguh bingung. Tidak tahu harus bagaimana. Tapi dia memilih mempertahankanmu..." Si Nyonya rumah menyeruput tehnya sendiri. "Dia ke sini. Ke rumahku. Untungnya suamiku mengizinkan dia tinggal disini. Lalu saat dia melahirkan, kami membawanya ke bidan sekitar sini dan membayar biayanya. Setelah itu kami sibuk bekerja. Tak disangka ibumu lari dari tempat bersalinnya dengan alasan ke sini. Tapi sesungguhnya... Dia menaruhmu di tempat ibu angkatmu sekarang. Setelah itu dia baru kembali ke sini dan menceritakan semuanya..."
Debora dan temannya menahan napas.
"...lalu dia meninggal disini. Tak kuat akan semua yang menerpanya."
Debora merasa tercekik. Bersalah. Selama empat tahun ia menyalahkan ibu kandungnya... Tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Valen..." tangis gadis itu pecah, memeluk teman di sebelahnya. Temannya berusaha menenangkan.
"Tidak apa... Tidak apa..." Dielusnya punggung Debora.
Debora merasa sesak napas. Disandarkannya punggung ke sofa.
"Tenang Deb... Minum dulu..." Valen menyodorkan teh ke arah Debora yang masih merasa sulit percaya.
"Debora... Ibumu menitipkan ini..." Nyonya Ananda menyodorkan selembar kertas. Oh, surat lagi.
Debora...
Bunda ucapkan selamat karena kamu berhasil mengetahui kenyataan. Kenyataan yang pedih ya? Bunda tahu. Bunda tahu itu pedih dan menyakitkan. Selamat atas kepandaianmu... Kamu berhasil mengetahui semuanya...
Bunda selalu yakin kamu pasti akan tahu. Jangan tanya bagaimana sayang... Bunda selalu tahu kamu akan tumbuh menjadi anak yang pandai.
Kelak, jika Debora sudah punya anak, jagalah dengan baik. Tolong jalani hidup dengan baik. Tolong ya? Berjanjilah pada Bunda.
Maafkan bunda. Bunda tahu bunda salah. Bunda tahu. Maafkan bunda ya?
Tapi bunda tahu kamu akan bertahan dan hidup dengan baik... Bunda yakin.
Bunda tidak pernah meninggalkanmu sayang. Bunda tidak pernah meninggalkanmu. Bunda selalu ada di dekatmu. Di hatimu.
Berjanjilah Debora akan memaafkan bunda, jagalah baik-baik cucu Bunda, dan hidup dengan baik. Hanya itu permintaan bunda pada Debora.
Terimakasih ya Debora... Atas menuruti permintaan bunda.
Dari yang selalu menyayangimu...
Tangis Debora semakin deras. Valen dan Nyonya Ananda berusaha menenangkannya, meski gagal, karena masih tersisa pedih di hati Debora.
Debora janji, Bunda...
***
MATA Debora kembali membuka. Dipandangnya sang putri yang sudah kembali ceria.
"Ma! Aku baru ingat. Bu Guru bilang kalo aku termasuk ikut drama buat perayaan hari ibu. Aku disuruh ngundang mama. Mama dateng kan?"
"Mama pasti datang, sayang," Debora mengusap rambut Chika. Tersenyum lembut.
***
22 Desember 2013, 10.00
"MAMA!"
"Ah, Chika! Mama bangga sama kamu," Debora menciumi pipi Chika.
"Hehe. Ma, ini buat mama," Chika menyerahkan sebuket bunga pada Debora, yang diterima Debora dengan mata berkaca-kaca.
"Terimakasih sayang..." Tangis haru Debora pecah. Tangis haru bercampur tangis bahagia sekaligus tangis untuk mengeluarkan pedih dalam hatinya.
"Mama nangis?" Dengan pengertian Chika mengusap tangis ibunya. Debora mengelus rambut Chika lembut. Sekarang dia yakin dia telah memenuhi semua janji pada ibunya.
Debora rawat Chika baik-baik, Bunda... Debora sudah memaafkan Bunda... Dan Debora juga hidup dengan sangat baik...
Fin.
21 Desember 2013, 17.50
One day before mother's day
NOTE:
Mama thanks :') I love mom.
No comments:
Post a Comment
Leave a trace if you want!