Bad Memories
presented by

3 Mei 2011
“Mana Sophia?”
Seorang remaja yang mirip dengan
orang yang menanyainya mengernyit heran. “Ethan, kau…”
“Aku mengingatnya, aku
mengingatnya! Dimana dia, Nathan?”
“Dia…” Nathan membuang muka.
“Dia?” kejar Ethan. Nathan hanya
menghela napas.
“Besok kubawa kau mengunjunginya.”
“Apa dia sakit? Dia dimana?
Nathan!”
Nathan hanya tersenyum hambar sebagai
jawabannya.
*
20 Desember 2008
“Memangnya gadis itu siapa? Dia
selalu sok tahu!”
Kembaran Ethan, Nathan, mengernyit.
Tapi kemudian ekspresinya kembali biasa. “Temanku,” jawabnya tenang. Setenang
permukaan air di cuaca terik.
“Dia gadis menyebalkan.”
“Itu hanya menurutmu, Ethan.”
“Benarkah?” Ethan tersenyum sinis.
“Dia perhatian padamu.”
“Dia menyukaiku?” tanya Ethan
sinis.
“Entahlah.”
Ethan tertawa sarkastis. “Kau
bahkan tidak tahu.”
“Aku kan bukan dia.”
Ethan terdiam sejenak, namun
kemudian mengibaskan tangannya. “Omong kosong. Aku tak peduli, dia benar-benar
gadis pengganggu. Dan sejak dia menggangguku itu, dia adalah musuhku.” Ethan
berderap keluar ruangan. Nathan hanya menghela napas.
Kau berbeda, tapi sama. Kau tetap sekeras kepala dulu. Tapi bagiku kau
berbeda, Eth. Hah, semua benar-benar berubah.
*
“Sophia?”
Gadis yang dipanggil Sophia itu
berbalik. “Hai, Nath.”
“Ada apa ke sini?”
“Kau mengusirku?”
“Ah, tidak,” tawa Nathan. “Hanya
bertanya.”
“Melihat Ethan.”
“Dia jadi tidak menyukaimu jika kau
bersikap seperti itu terus, Soph.”
“Aku mengerti. Memang agak aneh
baginya kalau…” Sophia menjeda kalimatnya, “Orang asing, yah, begitulah aku di
matanya. Benar kan, Nath?”
“Jangan berpikir begitu.” Nathan
berusaha menghibur gadis di sebelahnya. Sophia hanya tersenyum hambar.
“Tidak usah menghiburku.”
“Oh, ayolah, kau tahu kan kenapa?”
“Tentu saja aku tahu. Aku kan tak
pernah dianggap olehnya.”
“Kau kan hanya perhatian padanya.”
“Tapi dia risih dengan itu,”
“Tentu saja. Kau terus-terusan
menjadi stalker, sih,” Nathan
mengejek. “Tentu saja dia risih.”
“Jika aku tidak menjadi stalker, apa dia akan dekat denganku,
…?”
Ada sesuatu yang tidak terdengar
oleh Ethan dalam percakapan keduanya. Satu kata yang seharusnya dia tahu.
Kembali. Lagi.
Tapi Ethan tidak tahu. Ethan… Dia
tidak mengerti. Semua memang telah berbeda.
“Jangan berpikir terlalu berat,
huh?” Nathan mengacak rambut Sophia. Sophia tertawa kecil. Entah kenapa, ada
bagian tubuh Ethan yang terasa sakit.
Tidak terima, seperti itulah.
Ethan yang bersembunyi di balik
pohon, terus menguping.
“Kau takkan menyerah?” tanya Nathan
prihatin. Sophia menggeleng tegas.
“Tak peduli dia menganggapku musuh
atau apapun. Aku tak peduli. Yang jelas aku selalu ingin berada di dekatnya.”
“Tekadmu telalu kokoh untuk
kuhancurkan.”
Sophia tertawa, membuat Ethan yang
masih menguping terpesona mendengarnya. “Kau mau menghancurkan tekad kuatku?
Tega sekali kau ini.”
“Daripada kau merasa sakit saja,
kan itu lebih baik.”
Sophia berhenti tertawa dan menatap
Nathan. “Aku akan terus berjuang dan tekadku takkan begitu mudah goyahnya,
Nath.”
Nathan tertawa. “Aku tahu. Selamat
berjuang.”
Saat keduanya tertawa bersama, Ethan
merasa iri pada kembarannya. Karena dia tak bisa. Dia tak bisa. Tapi hatinya
tetap tidak rela.
Ethan tahu dia munafik. Menolak
kehadiran gadis itu lantaran merasa risih.
Tapi entah kenapa Ethan juga tahu,
dia membutuhkan gadis itu.
***
Sophia menatap bunga di depannya.
Terlalu cantik, kan?
Terlalu banyak kenangan juga.
Dia sangat tahu siapa yang
mengenalkan bunga itu padanya. Seseorang. Seseorang yang sekarang bersikap
dingin padanya.
Oh, Tuhan.
Dia hanya ingin berjuang dan
bertaruh agar dia bisa mendapatkan kembali Ethan-nya. Karena dialah satu-satunya yang Sophia miliki.
Dan meski, dia menjadi taruhannya.
Dia tak peduli. Dia hanya berharap,
orang yang dicintainya dan keluarganya bahagia. Dia tidak berharap lebih. Dia
tidak peduli apapun lagi.
Bebungaan yang mekar itu selalu
mengingatkannya pada hari dimana dia seakan melihat petir terdashyat dalam
hidupnya.
“Dia amnesia.” Dokter menghela napas.
Sesaat keluarga Ethan serta Sophie tak mampu berkata-kata. “A-amnesia?”
“Ya.”
“B-bagaimana bisa?”
“Benturan di kepalanya cukup keras, jadi sebagian
ingatannya menghilang. Tapi ada kemungkinan ingatannya pulih.”
“Bagaimana kemungkinan itu bisa terjadi?”
Sophia sudah tak peduli lagi dan berjalan keluar.
Berlari sekuat tenaga ke taman rumah sakit.
Dan melihat setangkai bunga kesukaannya dan pacarnya sekaligus sahabat
tersayangnya, Ethan. Hatinya terasa sakit mengingat kemungkinan Ethan akan
melupakannya.
Bunga itu dikenalkan Ethan padanya. Dan dia amat menyukainya. Sampai saat
ini.
“Sedang apa kau disini?”
Pertanyaan itu ditanyakan tegas,
tidak ramah, dan menusuk oleh orang yang suaranya sangat dikenal Sophia.
“Ethan!” jawabnya ceria. Dipeluknya
lengan Ethan. Ethan yang risih menepisnya.
Meski kecewa, Sophia menutupinya
dengan tersenyum manis.
***
24 Februari 2011
“Ethan, Ethan! Nathan, Papa, bantu
Mama! Ayo, Nathan! Papa! Ethan pingsan!”
Kepanikan terasa di rumah besar
keluarga Gibson. Mereka buru-buru membawa Ethan yang pingsan ke rumah sakit.
Memapahnya ke mobil, lalu melesat
ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, Nathan
semakin panik. Ia sibuk menekan-nekan tombol ponselnya…
“Halo, Sophie?”
“Ada apa, Nath?”
“Sophia, Ethan…”
“Ethan?! Ethan kenapa?!”
“Ethan… Dia… Dia pingsan…”
“APA?!” Suara Sophia di seberang terdengar panik. “Bagaimana bisa?!”
“Sebenarnya… Dia…” Nathan menghela
napas. “Aku tak bisa menceritakannya di telepon. Cepat, ke rumah sakit yang
terdekat dari rumah kami.”
“RS Edison?”
“Mana lagi? Cepat!”
“Baiklah, tunggu aku.”
Klik.
Nathan menghela napas berat, lagi.
Ditatapnya kembarannya. Mata yang biasanya terbuka ceria itu tertutup.
Biar diceritakan. Dulu, Ethan
mengalami kecelakaan. Ingatannya lenyap dan jantungnya bocor. Jantung bocornya
itu sering kambuh. Jika sudah kambuh, dia akan pingsan.
Begitu sampai di rumah sakit,
petugas melarikan Ethan ke UGD. Keluarga mengikuti dengan cemas dan panik.
Dengan terengah-engah Sophia
muncul. Nathan tersenyum kecil.
“Dia kenapa?”
Dan Nathan menceritakan semua. Penyakit
kembarannya, semua tanpa terkecuali ataupun ditutup-tutupi..
Mulut Sophia terbuka, terperangah.
Benar-benar terlihat sangat terkejut, tidak menyangka, panik, dan cemas. “Ba-bagaimana caranya dia bisa
sembuh?”
Nathan tersenyum hambar. “Donor
jantung.”
*
3 Mei 2011
“Dia…” gumam Ethan sedih. Nathan
mengangguk berat. Rasanya dunia Ethan serasa runtuh saat itu juga. Namun Nathan
sang kembaran salut karena Ethan berusaha menjaga dirinya tetap tenang.
“Antar aku ke tempat
peristirahatannya,”
“Setelah kau sembuh.”
*
22 Mei 2011
“Terimakasih, Sophie.”
Ethan menarik napas dalam-dalam di
depan makam pacarnya –mungkin sudah mantan? Ah, tidak, Sophia tetap kekasih
hati Ethan selamanya.
“Terimakasih karena kau sabar saat
aku berbuat jahat padaku. Terimakasih—“ Ethan tercekat. Dia tak mampu lagi
menahan tangis.
Dan akhirnya air matanya jatuh.
Setelah beberapa lama, Ethan
menengadah. Memejamkan mata.
“Terimakasih kau tidak
meninggalkanku. Terimakasih… Terimakasih atas bantuanmu, sweetie…”
*
26 Februari 2011
“Kau yakin?” tanya Nathan ragu.
“Ya.” angguk Sophia mantap. Nathan
hanya dapat menghela napas.
“Baiklah. Kau terlalu keras kepala.
Hah, Ethan sungguh beruntung memilikimu. Tapi kutanya sekali lagi. Kau yakin
mau mendonorkan jantungmu untuk Ethan?”
“Bahkan aku sebentar lagi mati,
Nathan. Kau tahu kan penyakitku. Cepat atau lambat aku akan mati. Daripada jantungku
terbuang sia-sia, lebih baik itu untuk Ethan.”
“Tapi kau punya sisa waktu cukup
banyak untuk hidup, bukan.”
“Dengan obat? Aku lelah. Aku hidup
pun tak ada artinya.”
“Kau yakin? Sungguh-sungguh yakin?”
Lagi-lagi Sophia mengangguk mantap.
“Aku bersedia mengorbankan nyawaku bagi Ethan.”
“Baiklah.” Nathan menghela napas.
“Mmm, ini.” Sophia menyerahkan
secarik amplop pada Nathan. “Berikan pada Ethan pada peringatan kematianku yang
ketiga, jika ingatannya sudah pulih. Jika belum, tunda sampai ingatannya, setidaknya
tentangku, kembali.”
“Bahkan kau telah menyiapkannya.
Kau sungguh-sungguh rela mati untuknya?” Sekali lagi Nathan bertanya.
“Aku sangat amat mencintainya.” jawab
Sophia tegas.
*
Peringatan kematian Sophia ke-3, 28
Februari 2014
Hai, Ethan Gibson.
Aku tidak tahu apa aku masih berhak memanggilmu
sayang, tapi anggaplah begitu, ya? Aku juga tidak tahu apa yang mengilhamiku
sehingga mau membuat surat ini. Kekeke, tak apalah. Yang jelas, aku
mencintaimu.
Ups, surat ini mulai tak beraturan.
Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku
mencintaimu, sudah itu saja yang penting. Itu saja sudah cukup. Aku tidak ingin
apapun, hanya ingin kau tahu itu.
Jadi aku memutuskan mendonorkan jantungku.
Hey, tentu saja dokter tidak mau mengambil
jantung orang hidup. Kekeke~ Kau belum tahu kan? Aku punya satu penyakit yang
tidak kau ketahui.
Aku terkena kanker darah. Ya, kau tahulah. Aku
cukup tersiksa dengan itu. Dan aku memilih mati.
Aku tidak tahan lagi.
Aku minta maaf jika kau merasa sedih. Ei, aku
telah meminta Nathan untuk memberikannya setelah kau ingat tentangku, dia tidak
lupa kan? Kau sudah ingat tentangku kan? (yah, sebenarnya aku akan memintanya
nanti setelah surat ini selesai ditulis. anggap saja begitulah, karena bagimu ini
sudah lewat tiga tahun—atau lebih?
Ayolah, harusnya begitu. Haha. Jika kau ingat
padaku, aku yakin kau akan sedih.
Iish, jangan menertawaiku. Bukan aku yang pede,
tapi ini karena aku mengenalmu dengan baik sekali.
Yang
jelas, aku mencintaimu...
“Kau bodoh…” tangis Ethan setelah
menerima dan membaca separuh surat dari Sophia yang dititipkan pada Nathan. “Kau
bodoh, Sophia …” Diusapnya nisan Sophia.
Nathan sudah menceritakan semua, dan
Ethan merasa sangat bersalah. Sangat bersalah, sekaligus mengutuk kecelakaan
yang membuatnya lupa ingatan itu.
“Terima kasih, Sophia Lynn…”
*
28 Februari 2011
“Keadaan keduanya memburuk. Nona
Lynn tidak mampu bertahan lagi tanpa obat dan jantung Tuan Gibson semakin
memburuk. Apa mau secepatnya diadakan pencangkokan?”
Ayah Nathan menghela napas
sebentar, lalu mengangguk mantap. “Ya.”
“Silahkan tanda tangani ini.”
Nathan mengehela napas, berdoa bagi
keselamatan saudara kembarnya dan mengucapkan banyak terimakasih untuk Sophia.
Dia teringat surat dari Sophia untuk Ethan. Dipandanginya amplop itu.
Untuk Ethan
tersayang
Dari
Sophia-mu
Nathan kembali membuang napas
berat, lalu bergumam pelan. “Terima kasih, Sophia Lynn.”
*
28 Februari 2014
Aku tidak bodoh.
Aku benar-benar bisa menebak apa yang kau akan
katakan, ya? Benar, tidak? Kau baru saja menyebut aku bodoh. Huh, aku tidak
bodoh.
Aku hanya ingin mencintaimu.
Ini naif ya? Egois, atau terlalu bodoh? Mungkin
aku sudah buta karena cinta? Ah, entahlah, sudahlah. Yang jelas aku tidak
bodoh. Kekeke, karena jika aku bodoh, kau bagaimana?
Aku mencintaimu… Aku mencintaimu… Aku
mencintaimu.
Aku mencintaimu sejak kau memunculkan diri
dihadapanku. Aku semakin mencintaimu saat meminta aku menjadi kekasihmu. Aku
makin mencintaimu lagi saat kau mengajakku melihat bebungaan yang bermekaran di
‘taman kita’…
Ah, ya, bunga yang bermekaran. Aku baru saja
memotret bunga yang bermekaran. Bagaimana? Cantik kan? Kau bisa melihat foto
yang kuberikan, bukan?
Foto-foto itu saat aku hunting foto di
pegunungan Hilland. Ada fotoku juga, tentu saja agar kau selalu mengingatku. Tapi,
ingat. Jangan selalu melamun karena mengingatku, apalagi sedih saat
mengingatku. Kau tetap harus fokus pada hidupmu. Hanya ini permintaan
terakhirku, berjanjilah, ya?
Terimakasih atas semuanya. Aku mencintaimu.
Selamanya.
Dari yang akan selalu
mencintaimu,
Sophia Lynn.
P.S: Aku sudah menyiapkan banyak surat untukmu.
Tapi ingat! Buka setiap peringatan kematianku ya. Awas kalau kau membaca semua
sekaligus. Sensasinya tidak akan terasa, haha…
Pokoknya turuti aku ya. Untuk surat-surat itu… Ada
di sebuah kotak yang aku minta Nathan menaruhnya di kamarmu.
Ingat, buka setiap tahun!
Aku tidak BODOH. Aku pintar, kan? Aku
mencintaimu, Ethan.
Kini Ethan menghapus air matanya.
Dia menengadah dan menatap awan. Awan-awan itu dia pandangi seolah-olah dia
melihat wajah kekasihnya terukir disana.
“Ya, kau tidak bodoh, Sophia Lynn…”
Ethan menarik ujung bibirnya ke atas. “Kau pintar. Sangat pintar. Terimakasih.
Aku juga mencintaimu.”
Dan di benaknya, Ethan menambahkan.
Aku tahu aku takkan pernah kesepian, Sophia. Surat-suratmu akan
menemaniku. Dan aku berjanji akan hidup seperti biasa. Aku akan fokus pada
semua hal, dan akan selalu mencintaimu.
Angin berhembus, menggoyangkan
rerumputan. Bebungaan ikut bergerak seirama. Ethan memandanginya. Dielusnya
bunga di dekat makam Sophia itu.
Dan dia, mendadak seolah mendengar
suara Sophia.
Aku mencintaimu, Ethan.
END
28 Februari
2014
18.07
No comments:
Post a Comment
Leave a trace if you want!